H

H

MAKASSAR MANYALAH - BOS BERNAMA “RAKYAT” MARAH

 


Pendahuluan: ketika pagar kawat lebih tinggi dari telinga

Pekan ini, amarah warga merebak di berbagai kota. Di Makassar, gedung DPRD terbakar dan menelan korban jiwa; di Jakarta, bentrokan pecah setelah tewasnya pengemudi ojek daring di sekitar aksi. Otoritas menyebut penahanan pelaku dan investigasi berjalan, tetapi luka sosial sudah telanjur menganga. Pangkalnya sederhana tapi tajam: ketidakadilan yang dirasa telanjang terutama saat publik membaca besaran tunjangan dewan, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta/bulan, di tengah ekonomi rumah tangga yang seret.

Siapa menggaji DPR? Rakyat !

 Anggota DPR menerima gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan rumah, tunjangan transportasi, hingga dana reses. Nilainya mencapai puluhan juta per bulan. Data terbaru (Tirto, 20 Agustus 2025) menunjukkan total penerimaan bulanan anggota DPR (non-pimpinan) dapat melampaui Rp80 juta, dengan rincian gaji pokok Rp4,2 juta, tunjangan jabatan Rp9,7 juta, tunjangan kehormatan Rp5,58 juta, tunjangan komunikasi intensif Rp15,55 juta, fungsi pengawasan & anggaran Rp3,75 juta, listrik–telepon Rp7,7 juta, asisten Rp2,25 juta, uang sidang Rp2 juta, plus PPh 21 yang ditanggung negara. Di luar itu, masih ada fasilitas kredit mobil hingga Rp70 juta serta akomodasi/rumah dinas senilai ±Rp50 juta/bulan. Dasar hukum gaji pokok diatur dalam PP No. 75/2000.

Rakyat bertanya: apakah pelayanan sebanding dengan penerimaan? Jika DPR adalah “karyawan”, maka “bos”-nya adalah rakyat. Dalam logika sederhana hubungan kerja, karyawan wajib melayani bos. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya: rakyat sering diabaikan, bahkan dianggap pengganggu ketika menyampaikan aspirasi.


Menakar jarak: 15× UMP Jakarta, 37× UMP termurah

Per 1 Januari 2025, UMP DKI Jakarta = Rp5.396.761UMP Jawa Tengah = Rp2.169.349. Itu berarti gap kasar penerimaan DPR—sekitar Rp80 juta/bulan—setara ≈15 kali UMP Jakarta dan ≈37 kali UMP Jateng. Ini bukan sekadar kecemburuan, tetapi refleksi bahwa semakin tinggi imbalan, semakin tinggi pula kewajiban akuntabilitas.

 

Demo bukan ancaman, melainkan audit moral terbuka

Dalam negara demokratis, demonstrasi adalah kanal korektif. UU No. 9/1998 menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Institusi politik yang matang tidak anti kritik, melainkan membuka telinga. Menggulung kawat duri lebih tinggi hanya memperlebar defisit kepercayaan.


Etika publik DPR: pelajaran dari krisis empati

Kemarahan rakyat hari-hari ini bukan hanya soal angka, tetapi soal rasa: rasa keadilan, rasa didengar. Komunikasi publik DPR sering gagal membangun empati. Padahal tunjangan komunikasi seharusnya diimbangi protokol menerima massa, transparansi, dan tindak lanjut yang terukur.

Perspektif Islam: Demokrasi yang Hidup


Umar bin Khattab dan koreksi rakyat di mimbar.          

Suatu ketika Umar berkhutbah ingin membatasi mahar. Seorang perempuan menegurnya dengan ayat Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 20). Umar tidak marah, justru berkata, “Perempuan itu benar, Umar salah.” Inilah teladan: pemimpin yang besar justru tidak alergi kritik.

 

Syura (musyawarah) sebagai mekanisme aspirasi

Al-Qur’an menegaskan, “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38). Syura adalah prinsip partisipasi—setara dengan demokrasi deliberatif modern.


Nasihat kepada pemimpin adalah bagian agama

Hadis Nabi ﷺ: “Agama adalah nasihat… untuk pemimpin kaum Muslimin dan rakyatnya.” (HR. Muslim). Itu artinya: rakyat menasihati pemimpin adalah ibadah, dan pemimpin mendengar adalah amanah.

Kisah Umar dan baju panjang

Umar pernah diprotes karena bajunya melebihi jatah kain rampasan perang. Umar segera memanggil anaknya untuk bersaksi bahwa ia mendapat tambahan dari jatah Abdullah. Artinya, pemimpin siap diaudit rakyat, bahkan dalam hal kecil.


Rekomendasi praktis

  1. Posko aspirasi permanen di DPR & kanal daring (setiap jawaban dari permasalahan rakyat wajib direspon  ≤72 jam).
  2. Audit etika tunjangan: laporkan penggunaan tunjangan komunikasi secara terbuka per triwulan.
  3. Rapat dengar pendapat tematik rutin: buka pintu rakyat, siarkan langsung, tindak lanjuti.


Penutup: Mari Menata ulang relasi “karyawan–bos”

 Dalam logika sederhana: rakyat adalah bos, DPR adalah karyawan. Ketika bos marah, karyawan yang baik introspeksi, bukan menutup telinga. Regulasi gaji DPR memang sah, tapi legitimasi moral datang dari pelayanan nyata. Jika Umar bin Khattab saja siap dikritik perempuan jelata di masjid, mengapa DPR hari ini alergi pada kritik rakyat di jalanan? 

 Para anggota DPR yang terhormat, keluarlah temui rakyat / Bos kalian. Berjanjilah untuk perbaiki sistem dengan bersungguh-sungguh. Dan untuk rakyat wahai para Bos, mari kembali dengan kepala yang dingin sampaikan "kemarahan" ini dengan tidak merusak fasilitas umum. Mari menata slang relais Karywan-Bos.

Subscribe to receive free email updates: